Kamis, 10 April 2014

CERPEN BARU



HEI
By: Y-Poxz


          “Mbak! Bangun, Mbak!” sayup-sayup terdengar sebuah suara. Tubuh Isya pun terasa terguncang.
          Isya tersentak dan terbangun seketika. Samar-samar terlihat seorang laki-laki berkumis yang nggak lain adalah kondektur bus berdiri di sampingnya.
          “Udah sampai ya, Bang?” tanya Isya dengan mata setengah melek. Matanya masih terlalu berat untuk bisa melek full. Belum lagi kepalanya mendadak pusing.
          “Udah sampai mana?” si Abang Kondektur malah melontarkan pertanyaan balik.
          “Jalan Untung Suropati,” jawab Isya masih dengan setengah sadar.
“Wah, jalan Untung Suropati udah kelewat jauh. Ini udah hampir sampai terminal.”
Hah??? Mata Isya langsung terbuka lebar. Yang benar aja nih Abang kondektur. Masa ia kesasar sejauh ini?
“Kalian berdua mau ke mana? Kalian kabur dari rumah, ya?” tanya Abang Kondektur lagi.
“Kalian berdua?” Isya kurang mengerti dengan pertanyaan Abang Kondektur barusan. Apalagi pakai embel-embel kabur dari rumah segala.
Pertanyaan Isya terjawab saat ia menoleh ke samping. Ia baru sadar kalo masih ada penumpang lagi selain dirinya. Seorang cowok yang sedari tadi asyik dengan buku dan earphone yang menempel di telinganya. Isya pikir hanya dirinya satu-satunya penumpang yang masih tersisa.
“Kalian mau ke mana?” Abang Kondektur mengulangi pertanyaannya. Isya hanya bisa garuk-garuk kepala meskipun sebenarnya nggak gatal, ia bingung. Gara-gara ketiduran, ia jadi kesasar sejauh ini.
Tiba-tiba cowok di sampingnya menutup buku dan bangkit, “Kami turun di sini aja, Bang,” ucapnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Kemudian cowok itu menarik tangan Isya dan menuntunnya untuk turun dari bus.
“Hei, kamu ini apa-apaan, sih? Lepaskan tanganku,” Isya complain. Belum kenal tapi udah berani narik-narik tangan orang.
“Ops, sorry,” kata cowok itu seraya melepaskan tangannya dan tersenyum manis. Sepasang lesung pipi membuat cowok itu terlihat lebih charming.
Isya mengamati cowok di depannya dengan pandangan agak curiga.
“Tenang, aku bukan orang jahat kok,” cowok itu tersenyum lagi. Isya masih diam.
Kalo dilihat, cowok itu memang nggak kelihatan seperti penjahat. Tapi Isya masih belum percaya. Tampang, kan bisa menipu. Sekarang banyak penjahat yang mengandalkan wajahnya yang keren agar bisa melancarkan aksinya. Siapa tau cowok itu salah satunya.
“Yok, ikut aku.” cowok itu kembali menarik tangan Isya.
“Hei, tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?” Isya mulai takut. Padahal ia sudah berusaha positive thinking pada cowok itu.
“Karena udah kesasar, jadi sekalian aja kita jalan-jalan.”
“Tapi nggak perlu narik tangan segala, kan?”
“Hehehe… sorry,” cowok itu meringis.
“Kamu kesasar juga?”
“He-em,” jawab cowok itu singkat.
“Emang rumah kamu di mana?”
“Rumahku udah kelewat jauh.”
“Kenapa tadi nggak turun? Tadi kamu ketiduran juga?”
“Gimana mau turun kalo pundakku jadi sandaran kamu tidur. Aku lihat tadi kamu tidurnya pulas bangat. Jadi aku nggak tega mau bangunin.”
“Masa, sih?” Isya mencoba mengingat-ingat. Sayang, memori otaknya terlalu sulit untuk diajak kompromi.
“Kalo gitu sorry, ya. Eh, tapi tadi kamu nggak macam-macam, kan?”
Cowok itu hanya menjawab dengan seulas senyum yang membuat Isya semakin was-was. Sebenarnya cowok ini orang baik atau orang jahat?
“Hei, nama kamu siapa?” tanya Isya begitu berhasil menjajari langkah cowok itu.
“Bukannya barusan kamu manggil namaku?”
“Mana? Aku hanya manggil kamu ‘hei’.”
“Nah, itu namaku.”
Itulah awal perkenalan Isya dengan cowok yang mengaku bernama ‘Hei’. Cowok yang Isya rasa menyimpan banyak misteri.
Ternyata Hei nggak seperti yang Isya kira. Hei cowok baik, ramah, dan punya selera humor yang tinggi. Meskipun baru kenal, Isya merasa kalo ia sudah bisa akrab dengan Hei.
Sayangnya, pertemuan Isya dengan Hei hanya terjadi pada hari itu saja. Bodohnya, Isya lupa minta alamat atau nomer HP Hei. Mungkin Tuhan emang menakdirkan itu hanya pertemuan sekilas, bukan untuk menjalin hubungan persahabatan atau lebih.
Satu minggu sejak pertemuan itu. Isya menelusuri tempat-tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan Hei. Entah kenapa ia sangat ingin pergi ke tempat ini. Ia masih ingat jelas saat itu. Makan es krim di pinggir jalan berdua, jalan-jalan, nyari buku berdua, de-es-be.
Saat memasuki toko buku, tanpa sengaja mata Isya menangkap sesosok cowok yang ia rasa mirip dengan Hei. Tunggu, bukan mirip lagi. Cowok itu memang Hei.
“Hei!” Isya menepuk pundak cowok itu agak ragu.
Orang di depannya yang sedang asyik milih-milih buku menoleh, “Siapa, ya?” tanyanya.
Isya mematung nggak percaya. Hei sudah lupa padanya. Padahal baru seminggu yang lalu mereka bertemu dan menghabiskan waktu berdua.
“Kamu udah lupa sama aku? Aku Isya. Kita ketemu minggu lalu saat aku ketiduran di bus.”
“Isya siapa, ya?” cowok itu seperti berpikir keras.
Oh My God! Hei benar-benar lupa padanya. Aduuhh… malunya. Tau gini, mending tadi nggak usah nyamperi Hei aja.”
“Hahaha… jangan sedih gitu, dong… aku masih ingat kamu kok. Mana mungkin aku lupa sama cewek yang pernah tidur di pundakku?” Hei berbicara dengan volume yang nggak bisa dibilang pelan.
Andaikan masih sempat, Isya ingin sekali menutup mulut Hei. Bisa-bisanya buka kartu di tempat umum seperti ini. Cablak banget, sih mulutnya. Entah sekarang wajah Isya seperti apa saking malunya.
“Aku kira kamu beneran udah lupa sama aku,” ucap Isya begitu mereka keluar dari toko buku.
“Hehehe… maaf-maaf. Emmm… Sebagai permohonan maafku, gimana kalo aku traktir  es krim, sepuasnya, deh.”
Isya menarik sebelah bibirnya ke atas seraya berpikir.
“Udah, nggak usah kebanyakan mikir. Yok!” Hei (lagi-lagi) menarik tangan Isya tanpa izin. Heran, nih cowok hobi banget narik-narik tangan orang.
“Kalo sering-sering ditraktir es krim begini, aku nggak bakal nolak kok,” canda Isya.
“Huuu… maunya gratisan terus.”
“Itu namanya rejeki, tau. Rejeki nggak boleh ditolak.”
“Oh… Jadi cowok ini yang ternyata menjadi alasan kamu mutusin aku?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul.
“Dirga!” Isya reflek berdiri begitu tau siapa cowok itu.
“Heh! Dengar, ya. Isya itu pacarku. Jangan coba-coba merebut  dia dariku. Ngerti, kamu?!” Dirga mendorong tubuh Hei.
“Dirga! Apaan, sih? Jangan buat keributan di sini. Mending sekarang kamu pergi aja, deh. Aku udah muak melihat kamu.”
“Tapi, Sya…”
“Aku bilang pergi!!!”
Mendadak Dirga menjadi sangat marah. Tangannya mengepal kuat. Matanya menatap tajam ke arah Hei, “Ini pasti gara-gara kamu. Damn!” kata terakhir Dirga disambung dengan satu pukulan yang bersarang tepat di wajah Hei.
Hei terhuyung ke belakang. Salah satu sudut bibirnya berdarah akibat pukulan tadi. Hei sudah siap membalas, tapi Isya berhasil menyegahnya lebih dulu.
“Nggak ada gunanya kamu meladeni orang seperti dia,” ucap Isya. Kemudian Isya beralih ke Dirga.
“Ingat ya, Ga! Kita udah putus. Jadi kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku lagi. Lebih baik kamu urusi aja selingkuhan kamu itu.”
Isya menggandeng tangan Hei dan mengajaknya pergi, meninggalkan Dirga yang semakin marah. Orang-orang yang tadinya tertarik melihat kejadian itu pun satu per satu mulai membubarkan diri.
“Pacar kamu?” tanya Hei setelah mereka duduk di taman yang nggak jauh dari tempat mereka tadi.
“Dulu, tapi sekarang udah mantan. Kami udah putus dua minggu yang lalu. Ternyata selama ini diam-diam dia punya cewek lain selain aku. Aku paling benci cowok yang nggak jujur. Sorry, ya atas kejadian tadi. Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Hanya sobek sedikit,” jawab Hei seraya menggerak-gerakkan mulutnya yang masih kaku.
Beberapa saat kemudian mereka sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Eh, sebenarnya nama kamu siapa, sih?” Isya memecah kebisuan antara mereka. Lagipula ia juga masih penasaran dengan nama Hei yang sebenarnya.
“Udah aku bilang, namaku Hei.”
“Nggak mungkin. Aku yakin kamu punya nama.”
“Aku udah menduga kamu nggak akan percaya kalo namaku emang Hei. Berarti kamu orang yang ke-701 yang meragukan kalo manaku emang Hei.”
Yup, tepat sekali. Sudah dari saat pertama kali bertemu Isya meragukan kalo nama cowok itu ‘Hei’. Ia yakin Hei pasti punya nama asli meskipun namanya Jono, Paijo, Bejo, bahkan Tejo.
“Nah, kalo kamu udah tau aku nggak akan percaya, makanya kamu sebutkan nama kamu yang sebenarnya. Aku jadi nggak enak manggil kamu dengan sebutan ‘Hei’ terus.”
“Terserah kamu, deh mau percaya atau enggak. Lagipula menurutku nama itu nggak penting.”
Wah… Hei ini bego atau gimana, sih? Kalo menurut Isya pribadi, nama itu jelas penting banget. Meskipun nama itu terdengar kurang keren, tapi nama itu merupakan anugerah dari orang tua kita yang wajib disyukuri. Lagipula, apa Hei itu mau dipanggil ‘Nyet’ alias monyet kalo orang nggak tau nama aslinya?
Hei menatap Isya dan tersenyum, “Masih nggak percaya juga? Namaku emang Hei… Heidy.”
***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar