USA
by: Hyuniar
PUISI (lagi)????
Setidaknya itulah isi amplop warna pink bermotif bunga yang baru saja Kiera buka dari dalam laci
bangkunya. Dan lagi-lagi si pengirim hanya memberi inisial “from:USA”. Eits, bukan berarti puisi itu
jauh-jauh dikirim dari benua seberang USA alias United Statis of America,
lho. Tapi USA di sini maksudnya adalah Ur
Secred Admirer alias penggemar rahasiamu.
“Cie… dapat something
special lagi, nih?” tanya Letta yang baru saja datang. Kiera hanya
menanggapi dengan senyuman kecut.
“Wow! So sweet banget
puisinya. Yakin, deh orang yang ngirim puisi ini pasti romantis banget,” tambah
Letta yang masih larut dengan barisan kata-kata puitis bin romantis dari
pujangga USA yang baru saja ia baca.
Ini
sudah yang ketujuh kalinya Kiera mendapat sesuatu yang bernama puisi dari
penggemar rahasia. Senang? Bahagia? Terharu? NO WAY! Tidak sama sekali! Kalau penasaran, iya. Siapa, sih orang
yang kurang kerjaan hingga hobi membulet-buletkan kata seperti itu?
“Kok
cemberut? Seharusnya kamu senang, dong punya fans berat yang romantis begitu.”
“Udah berapa kali aku bilang, dia bukan fans
beratku,” ucap Kiera dengan penuh rasa tidak suka. Amplop dari si penggemar
rahasia ia lemparkan ke dalam laci meja dengan kasar setelah sebelumnya ia
remas-remas menjadi bola kertas.
“Tapi
kenyataannya dia selalu ngirim puisi romantis buat kamu. Itu merupakan ungkapan
perasaannya sama kamu.”
“Salah
kirim, kali… Kalau dia emang ngaku fans beratku, dia pasti ngirim bunga,
coklat, apa sajalah yang pasti bukan puisi karena dia pasti tahu kalau aku
paling nggak suka sama yang namanya puisi.”
“Tapi
tiap orang, kan punya cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan perasaannya.”
“Kalau
dia emang mau mengungkapkan perasaannya, dia, kan bisa ngomong langsung. Kalau
nggak berani ngomong langsung, SMS
atau telepon juga bisa. Kalau nggak punya pulsa, lewat surat juga boleh. Yang
penting perasaan dia bisa langsung aku ngerti dan pahami. Nggak usah sok-sokan
jadi pujangga zaman prasejarah begini,” Kiera masih keukeuh.
“Tau,
ah… Emang susah ngomong sama kamu,” Letta mengakhiri perdebatan dengan teman
sebangkunya. Percuma. Kiera pasti punya 1002 macam alasan kalau sudah
menyangkut puisi.
Kiera
memang beda. Biarpun Rangga dan Cinta dekat gara-gara puisi, biarpun
cewek-cewek banyak yang klepek-klepek setelah mendapat kata-kata puitis yang
ngakunya ala pujangga cinta, Kiera tetap nggak suka dengan puisi.
Menurutnya,
di dunia ini sudah diciptakan kata-kata yang simple untuk berkomunikasi. Jadi, buat apa membuletkan diri dengan
kata-kata sok puitis bin romantis gitu. Iya kalo yang ngerti puisi, bisa
langsung paham maksud dan tujuan deretan kata kias berjuta makna itu. Lha kalo
yang nggak ngerti seperti Kiera? Otak bisa mampet hanya untuk memahami tiap
barisan kata, apalagi maksud puisi itu. Buang-buang waktu, kan?
“Tapi,
Kie! Apa kamu nggak mau nyoba cari tahu siapa pengirim puisi-puisi itu?”
“Males.
Nggak penting.”
“Kamu
tuh, ya… Coba puisi itu dikirim buat aku, pasti nggak akan mubazir. So sweet banget!” ekspresi mupeng Letta
keluar.
Kiera
menatap sahabatnya itu sekilas, kemudian mendesah dan menggeleng-gelengkan
kepala pelan.
* * *
Keesokan
harinya.
Kiera
berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya dengan langkah pelan. Sejak mulai
masuk gerbang sekolah tadi, kepalanya terus menunduk. Matanya merem melek. Itu
pun lebih banyak meremnya.
“KIERAAAA…!!!”
suara stereo Letta memecah keheningan
di koridor deretan kelas XI. Orang yang dipanggil menoleh dengan tampang manyun
dan kepala yang dimiringkan. Ujung mata kanannya yang terbuka sedikit menangkap
sosok Letta yang berlari mendekatinya dengan sumringah.
Tangan
Letta terentang, siap memeluk Kiera. Tapi sedetik kemudian tangan itu berubah
fungsi menjadi benteng untuk menahan serangan badai yang keluar dari mulut
Kiera.
“Ih…
jorok, tahu! Kayak kuda nil yang kelaparan saja nguap nggak ditutupi. Pasti
semalam habis begadang nonton bola, kan?”
Kiera hanya nyengir.
“Eh,
ada berita super penting, nih. Ayok!” Letta menarik tangan Kiera dan memaksanya
berlari untuk segera sampai di kelasnya, kelas XI IA-1 tanpa menghiraukan
protes dari Kiera.
“Emang
sepenting apa, sih?" tanya Kiera untuk kesekian kalinya begitu mereka
sudah duduk di bangku.
“Pokoknya
penting, penting buanget,” lagi-lagi hanya jawaban ambigu yang dilontarkan
Letta.
“Ya
udah cepet ngomong. Ngantuk nih,” ucap Kiera seraya menguap lebar.
“Iya-iya…
Dengar, ya… Aku sudah tahu siapa yang ngirim puisi-puisi itu,” ucap Letta
dengan bangga.
“Oh!”
“Kok
cuma oh?”
“Terus
kamu maunya aku gimana? Koprol sambil bilang W-A-W WAUWW, gitu?” Kiera
menelungkupkan tubuhnya ke meja.
“Seenggaknya,
kan kamu nunjukin ekspresi kaget gitu walau cuma sedikit. Bangun dong, Kie!“
Letta memaksa Kiera duduk tegak.
“Apa
lagi?” ucap Kiera setengah keki. Acara tidur sebelum bel masuk gagal gara-gara
sahabatnya yang memang agak lebay ini.
“Jadi,
yang ngirim puisi-puisi itu sebenarnya Refky, anak XI IS-2 itu. Dan yang kamu
harus wajib kudu mesti tahu, ternyata puisi-puisi itu sebenarnya dikirim buat
aku, tapi dia salah naruh. Dia kira bangku kamu itu bangkuku. Ternyata, nih ya…
dari dulu Refky itu sudah suka sama aku, tapi dia belum berani ngomong. Makanya
dia ngirim puisi-puisi romantis seperti itu. Dan baru kemarin dia nembak aku. So sweet banget, deh pokoknya,” Letta
memegangi kedua pipinya sambil senyum-senyum sendiri mengingat moment bersejarah yang terjadi dalam
hidupnya kemarin.
“Kie…!!! Kamu dengerin aku nggak, sih?” Letta
mengguncang pundak Kiera karena meskipun duduk, mata Kiera kembali terpejam.
Kiera
tersentak, “Heh? Em… iya, aku dengar semua,” ucapnya malas sambil membenahi
posisi duduk. Bibir Letta yang sempat cemberut kembali mengembang.
“Sekarang
aku mau minta puisi-puisi Refky yang dikirim ke kamu. Masih ada, kan?”
“Tuh
di laci meja. Itu pun kalau belum dirazia sama anak-anak yang piket.”
Letta
memasukkan tangannya ke laci meja Kiera dan mengeluarkan bola-bola kertas
warna-warni.
“Eh!”
seru Letta, “Apa ini?” lanjutnya seraya membolak balik amplop biru polos yang
ia temukan di dalam laci.
“Puisi
dari Refky lah…”
“Sepertinya
bukan, Kie! Ada tulisannya to: KIERA.
Kalau amplopnya Refky, kan nggak ada tulisannya buat siapa. Lagipula amplopnya
polos, kok. Nggak rame seperti punyanya Refky. Coba, deh kamu buka.”
Kiera
menerima amplop itu dengan agak malas. Namun, matanya yang dari tadi hanya
mampu melek 5 milimeter, seketika itu melek full
begitu tahu isi amplop itu.
”Nah!
Ini baru beneran fans beratku,” Kiera meringis lebar sambil memamerkan isi
amplop yang ternyata adalah tiket pertandingan klub bola kesukaannya.
* * *
akhirnyaaa!!!!karya mbak pox menduniaaaa!!!!!
BalasHapuscongrats ya untuk seluruh admin blog ini!
ahihihi...tengkrut2...
BalasHapus