Minggu, 23 Maret 2014

cerpen hari ini



USA
                                                                                                                  by: Hyuniar


PUISI (lagi)????
            Setidaknya itulah isi amplop warna pink bermotif bunga yang baru saja Kiera buka dari dalam laci bangkunya. Dan lagi-lagi si pengirim hanya memberi inisial “from:USA”. Eits, bukan berarti puisi itu jauh-jauh dikirim dari benua seberang USA alias  United Statis of America, lho. Tapi USA di sini maksudnya adalah Ur Secred Admirer alias penggemar rahasiamu.
            “Cie… dapat something special lagi, nih?” tanya Letta yang baru saja datang. Kiera hanya menanggapi dengan senyuman kecut.
            “Wow! So sweet banget puisinya. Yakin, deh orang yang ngirim puisi ini pasti romantis banget,” tambah Letta yang masih larut dengan barisan kata-kata puitis bin romantis dari pujangga USA yang baru saja ia baca.
Ini sudah yang ketujuh kalinya Kiera mendapat sesuatu yang bernama puisi dari penggemar rahasia. Senang? Bahagia? Terharu? NO WAY! Tidak sama sekali! Kalau penasaran, iya. Siapa, sih orang yang kurang kerjaan hingga hobi membulet-buletkan kata seperti itu?
“Kok cemberut? Seharusnya kamu senang, dong punya fans berat yang romantis begitu.”
 “Udah berapa kali aku bilang, dia bukan fans beratku,” ucap Kiera dengan penuh rasa tidak suka. Amplop dari si penggemar rahasia ia lemparkan ke dalam laci meja dengan kasar setelah sebelumnya ia remas-remas menjadi bola kertas.
“Tapi kenyataannya dia selalu ngirim puisi romantis buat kamu. Itu merupakan ungkapan perasaannya sama kamu.”
“Salah kirim, kali… Kalau dia emang ngaku fans beratku, dia pasti ngirim bunga, coklat, apa sajalah yang pasti bukan puisi karena dia pasti tahu kalau aku paling nggak suka sama yang namanya puisi.”
“Tapi tiap orang, kan punya cara sendiri-sendiri untuk mengungkapkan perasaannya.”
“Kalau dia emang mau mengungkapkan perasaannya, dia, kan bisa ngomong langsung. Kalau nggak berani ngomong langsung, SMS atau telepon juga bisa. Kalau nggak punya pulsa, lewat surat juga boleh. Yang penting perasaan dia bisa langsung aku ngerti dan pahami. Nggak usah sok-sokan jadi pujangga zaman prasejarah begini,” Kiera masih keukeuh.
“Tau, ah… Emang susah ngomong sama kamu,” Letta mengakhiri perdebatan dengan teman sebangkunya. Percuma. Kiera pasti punya 1002 macam alasan kalau sudah menyangkut puisi.
Kiera memang beda. Biarpun Rangga dan Cinta dekat gara-gara puisi, biarpun cewek-cewek banyak yang klepek-klepek setelah mendapat kata-kata puitis yang ngakunya ala pujangga cinta, Kiera tetap nggak suka dengan puisi.
Menurutnya, di dunia ini sudah diciptakan kata-kata yang simple untuk berkomunikasi. Jadi, buat apa membuletkan diri dengan kata-kata sok puitis bin romantis gitu. Iya kalo yang ngerti puisi, bisa langsung paham maksud dan tujuan deretan kata kias berjuta makna itu. Lha kalo yang nggak ngerti seperti Kiera? Otak bisa mampet hanya untuk memahami tiap barisan kata, apalagi maksud puisi itu. Buang-buang waktu, kan?
“Tapi, Kie! Apa kamu nggak mau nyoba cari tahu siapa pengirim puisi-puisi itu?”
“Males. Nggak penting.”
“Kamu tuh, ya… Coba puisi itu dikirim buat aku, pasti nggak akan mubazir. So sweet banget!” ekspresi mupeng Letta keluar.
Kiera menatap sahabatnya itu sekilas, kemudian mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala pelan.
* * *

Keesokan harinya.
Kiera berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya dengan langkah pelan. Sejak mulai masuk gerbang sekolah tadi, kepalanya terus menunduk. Matanya merem melek. Itu pun lebih banyak meremnya.
“KIERAAAA…!!!” suara stereo Letta memecah keheningan di koridor deretan kelas XI. Orang yang dipanggil menoleh dengan tampang manyun dan kepala yang dimiringkan. Ujung mata kanannya yang terbuka sedikit menangkap sosok Letta yang berlari mendekatinya dengan sumringah.
Tangan Letta terentang, siap memeluk Kiera. Tapi sedetik kemudian tangan itu berubah fungsi menjadi benteng untuk menahan serangan badai yang keluar dari mulut Kiera.
“Ih… jorok, tahu! Kayak kuda nil yang kelaparan saja nguap nggak ditutupi. Pasti semalam habis begadang nonton bola, kan?”
Kiera hanya nyengir.
“Eh, ada berita super penting, nih. Ayok!” Letta menarik tangan Kiera dan memaksanya berlari untuk segera sampai di kelasnya, kelas XI IA-1 tanpa menghiraukan protes dari Kiera.
“Emang sepenting apa, sih?" tanya Kiera untuk kesekian kalinya begitu mereka sudah duduk di bangku.
“Pokoknya penting, penting buanget,” lagi-lagi hanya jawaban ambigu yang dilontarkan Letta.
“Ya udah cepet ngomong. Ngantuk nih,” ucap Kiera seraya menguap lebar.
“Iya-iya… Dengar, ya… Aku sudah tahu siapa yang ngirim puisi-puisi itu,” ucap Letta dengan bangga.
“Oh!”
“Kok cuma oh?”
“Terus kamu maunya aku gimana? Koprol sambil bilang W-A-W WAUWW, gitu?” Kiera menelungkupkan tubuhnya ke meja.
“Seenggaknya, kan kamu nunjukin ekspresi kaget gitu walau cuma sedikit. Bangun dong, Kie!“ Letta memaksa Kiera duduk tegak.
“Apa lagi?” ucap Kiera setengah keki. Acara tidur sebelum bel masuk gagal gara-gara sahabatnya yang memang agak lebay ini.
“Jadi, yang ngirim puisi-puisi itu sebenarnya Refky, anak XI IS-2 itu. Dan yang kamu harus wajib kudu mesti tahu, ternyata puisi-puisi itu sebenarnya dikirim buat aku, tapi dia salah naruh. Dia kira bangku kamu itu bangkuku. Ternyata, nih ya… dari dulu Refky itu sudah suka sama aku, tapi dia belum berani ngomong. Makanya dia ngirim puisi-puisi romantis seperti itu. Dan baru kemarin dia nembak aku. So sweet banget, deh pokoknya,” Letta memegangi kedua pipinya sambil senyum-senyum sendiri mengingat moment bersejarah yang terjadi dalam hidupnya kemarin.
 “Kie…!!! Kamu dengerin aku nggak, sih?” Letta mengguncang pundak Kiera karena meskipun duduk, mata Kiera kembali terpejam.
Kiera tersentak, “Heh? Em… iya, aku dengar semua,” ucapnya malas sambil membenahi posisi duduk. Bibir Letta yang sempat cemberut kembali mengembang.
“Sekarang aku mau minta puisi-puisi Refky yang dikirim ke kamu. Masih ada, kan?”
“Tuh di laci meja. Itu pun kalau belum dirazia sama anak-anak yang piket.”
Letta memasukkan tangannya ke laci meja Kiera dan mengeluarkan bola-bola kertas warna-warni.
“Eh!” seru Letta, “Apa ini?” lanjutnya seraya membolak balik amplop biru polos yang ia temukan di dalam laci.
“Puisi dari Refky lah…”
“Sepertinya bukan, Kie! Ada tulisannya to: KIERA. Kalau amplopnya Refky, kan nggak ada tulisannya buat siapa. Lagipula amplopnya polos, kok. Nggak rame seperti punyanya Refky. Coba, deh kamu buka.”
Kiera menerima amplop itu dengan agak malas. Namun, matanya yang dari tadi hanya mampu melek 5 milimeter, seketika itu melek full begitu tahu isi amplop itu.
”Nah! Ini baru beneran fans beratku,” Kiera meringis lebar sambil memamerkan isi amplop yang ternyata adalah tiket pertandingan klub bola kesukaannya.
* * *


                                                                                                                           

2 komentar:

  1. akhirnyaaa!!!!karya mbak pox menduniaaaa!!!!!
    congrats ya untuk seluruh admin blog ini!

    BalasHapus