HEI
By: Y-Poxz
“Mbak! Bangun, Mbak!” sayup-sayup
terdengar sebuah suara. Tubuh Isya pun terasa terguncang.
Isya tersentak dan terbangun seketika.
Samar-samar terlihat seorang laki-laki berkumis yang nggak lain adalah
kondektur bus berdiri di sampingnya.
“Udah sampai ya, Bang?” tanya Isya
dengan mata setengah melek. Matanya masih terlalu berat untuk bisa melek full. Belum lagi kepalanya mendadak
pusing.
“Udah sampai mana?” si Abang Kondektur
malah melontarkan pertanyaan balik.
“Jalan Untung Suropati,” jawab Isya
masih dengan setengah sadar.
“Wah,
jalan Untung Suropati udah kelewat jauh. Ini udah hampir sampai terminal.”
Hah???
Mata Isya langsung terbuka lebar. Yang benar aja nih Abang kondektur. Masa ia
kesasar sejauh ini?
“Kalian
berdua mau ke mana? Kalian kabur dari rumah, ya?” tanya Abang Kondektur lagi.
“Kalian
berdua?” Isya kurang mengerti dengan pertanyaan Abang Kondektur barusan. Apalagi
pakai embel-embel kabur dari rumah segala.
Pertanyaan
Isya terjawab saat ia menoleh ke samping. Ia baru sadar kalo masih ada
penumpang lagi selain dirinya. Seorang cowok yang sedari tadi asyik dengan buku
dan earphone yang menempel di
telinganya. Isya pikir hanya dirinya satu-satunya penumpang yang masih tersisa.
“Kalian
mau ke mana?” Abang Kondektur mengulangi pertanyaannya. Isya hanya bisa
garuk-garuk kepala meskipun sebenarnya nggak gatal, ia bingung. Gara-gara
ketiduran, ia jadi kesasar sejauh ini.
Tiba-tiba
cowok di sampingnya menutup buku dan bangkit, “Kami turun di sini aja, Bang,”
ucapnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Kemudian cowok itu menarik
tangan Isya dan menuntunnya untuk turun dari bus.
“Hei,
kamu ini apa-apaan, sih? Lepaskan tanganku,” Isya complain. Belum kenal tapi udah berani narik-narik tangan orang.
“Ops,
sorry,” kata cowok itu seraya
melepaskan tangannya dan tersenyum manis. Sepasang lesung pipi membuat cowok
itu terlihat lebih charming.
Isya
mengamati cowok di depannya dengan pandangan agak curiga.
“Tenang,
aku bukan orang jahat kok,” cowok itu tersenyum lagi. Isya masih diam.
Kalo dilihat, cowok itu memang nggak
kelihatan seperti penjahat. Tapi Isya masih belum
percaya. Tampang, kan bisa menipu. Sekarang banyak penjahat yang mengandalkan
wajahnya yang keren agar bisa melancarkan aksinya. Siapa tau cowok itu salah
satunya.
“Yok,
ikut aku.” cowok itu kembali menarik tangan Isya.
“Hei,
tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?” Isya mulai takut. Padahal ia sudah berusaha
positive thinking pada cowok itu.
“Karena
udah kesasar, jadi sekalian aja kita jalan-jalan.”
“Tapi
nggak perlu narik tangan segala, kan?”
“Hehehe…
sorry,” cowok itu meringis.
“Kamu
kesasar juga?”
“He-em,”
jawab cowok itu singkat.
“Emang
rumah kamu di mana?”
“Rumahku
udah kelewat jauh.”
“Kenapa
tadi nggak turun? Tadi kamu ketiduran juga?”
“Gimana
mau turun kalo pundakku jadi sandaran kamu tidur. Aku lihat tadi kamu tidurnya pulas
bangat. Jadi aku nggak tega mau bangunin.”
“Masa,
sih?” Isya mencoba mengingat-ingat. Sayang, memori otaknya terlalu sulit untuk
diajak kompromi.
“Kalo
gitu sorry, ya. Eh, tapi tadi kamu
nggak macam-macam, kan?”
Cowok
itu hanya menjawab dengan seulas senyum yang membuat Isya semakin was-was.
Sebenarnya cowok ini orang baik atau orang jahat?
“Hei,
nama kamu siapa?” tanya Isya begitu berhasil menjajari langkah cowok itu.
“Bukannya
barusan kamu manggil namaku?”
“Mana?
Aku hanya manggil kamu ‘hei’.”
“Nah,
itu namaku.”
Itulah
awal perkenalan Isya dengan cowok yang mengaku bernama ‘Hei’. Cowok yang Isya
rasa menyimpan banyak misteri.
Ternyata
Hei nggak seperti yang Isya kira. Hei cowok baik, ramah, dan punya selera humor
yang tinggi. Meskipun baru kenal, Isya merasa kalo ia sudah bisa akrab dengan
Hei.
Sayangnya,
pertemuan Isya dengan Hei hanya terjadi pada hari itu saja. Bodohnya, Isya lupa
minta alamat atau nomer HP Hei. Mungkin Tuhan emang menakdirkan itu hanya
pertemuan sekilas, bukan untuk menjalin hubungan persahabatan atau lebih.
Satu
minggu sejak pertemuan itu. Isya menelusuri tempat-tempat di mana ia pertama
kali bertemu dengan Hei. Entah kenapa ia sangat ingin pergi ke tempat ini. Ia
masih ingat jelas saat itu. Makan es krim di pinggir jalan berdua, jalan-jalan,
nyari buku berdua, de-es-be.
Saat
memasuki toko buku, tanpa sengaja mata Isya menangkap sesosok cowok yang ia
rasa mirip dengan Hei. Tunggu, bukan mirip lagi. Cowok itu memang Hei.
“Hei!”
Isya menepuk pundak cowok itu agak ragu.
Orang
di depannya yang sedang asyik milih-milih buku menoleh, “Siapa, ya?” tanyanya.
Isya
mematung nggak percaya. Hei sudah lupa padanya. Padahal baru seminggu yang lalu
mereka bertemu dan menghabiskan waktu berdua.
“Kamu
udah lupa sama aku? Aku Isya. Kita ketemu minggu lalu saat aku ketiduran di
bus.”
“Isya
siapa, ya?” cowok itu seperti berpikir keras.
Oh
My God! Hei benar-benar lupa padanya.
Aduuhh… malunya. Tau gini, mending tadi nggak usah nyamperi Hei aja.”
“Hahaha…
jangan sedih gitu, dong… aku masih ingat kamu kok. Mana mungkin aku lupa sama
cewek yang pernah tidur di pundakku?” Hei berbicara dengan volume yang nggak bisa dibilang pelan.
Andaikan
masih sempat, Isya ingin sekali menutup mulut Hei. Bisa-bisanya buka kartu di
tempat umum seperti ini. Cablak banget, sih mulutnya. Entah sekarang wajah Isya
seperti apa saking malunya.
“Aku
kira kamu beneran udah lupa sama aku,” ucap Isya begitu mereka keluar dari toko
buku.
“Hehehe…
maaf-maaf. Emmm… Sebagai permohonan maafku, gimana kalo aku traktir es krim, sepuasnya, deh.”
Isya
menarik sebelah bibirnya ke atas seraya berpikir.
“Udah,
nggak usah kebanyakan mikir. Yok!” Hei (lagi-lagi) menarik tangan Isya tanpa
izin. Heran, nih cowok hobi banget narik-narik tangan orang.
“Kalo
sering-sering ditraktir es krim begini, aku nggak bakal nolak kok,” canda Isya.
“Huuu…
maunya gratisan terus.”
“Itu
namanya rejeki, tau. Rejeki nggak boleh ditolak.”
“Oh…
Jadi cowok ini yang ternyata menjadi alasan kamu mutusin aku?” tanya seorang
cowok yang tiba-tiba muncul.
“Dirga!”
Isya reflek berdiri begitu tau siapa cowok itu.
“Heh!
Dengar, ya. Isya itu pacarku. Jangan coba-coba merebut dia dariku. Ngerti, kamu?!” Dirga mendorong
tubuh Hei.
“Dirga!
Apaan, sih? Jangan buat keributan di sini. Mending sekarang kamu pergi aja,
deh. Aku udah muak melihat kamu.”
“Tapi,
Sya…”
“Aku
bilang pergi!!!”
Mendadak
Dirga menjadi sangat marah. Tangannya mengepal kuat. Matanya menatap tajam ke
arah Hei, “Ini pasti gara-gara kamu. Damn!”
kata terakhir Dirga disambung dengan satu pukulan yang bersarang tepat di wajah
Hei.
Hei
terhuyung ke belakang. Salah satu sudut bibirnya berdarah akibat pukulan tadi.
Hei sudah siap membalas, tapi Isya berhasil menyegahnya lebih dulu.
“Nggak
ada gunanya kamu meladeni orang seperti dia,” ucap Isya. Kemudian Isya beralih
ke Dirga.
“Ingat
ya, Ga! Kita udah putus. Jadi kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku lagi. Lebih
baik kamu urusi aja selingkuhan kamu itu.”
Isya
menggandeng tangan Hei dan mengajaknya pergi, meninggalkan Dirga yang semakin
marah. Orang-orang yang tadinya tertarik melihat kejadian itu pun satu per satu
mulai membubarkan diri.
“Pacar
kamu?” tanya Hei setelah mereka duduk di taman yang nggak jauh dari tempat
mereka tadi.
“Dulu,
tapi sekarang udah mantan. Kami udah putus dua minggu yang lalu. Ternyata
selama ini diam-diam dia punya cewek lain selain aku. Aku paling benci cowok
yang nggak jujur. Sorry, ya atas
kejadian tadi. Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak
apa-apa. Hanya sobek sedikit,” jawab Hei seraya menggerak-gerakkan mulutnya
yang masih kaku.
Beberapa
saat kemudian mereka sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Eh,
sebenarnya nama kamu siapa, sih?” Isya memecah kebisuan antara mereka. Lagipula
ia juga masih penasaran dengan nama Hei yang sebenarnya.
“Udah
aku bilang, namaku Hei.”
“Nggak
mungkin. Aku yakin kamu punya nama.”
“Aku
udah menduga kamu nggak akan percaya kalo namaku emang Hei. Berarti kamu orang
yang ke-701 yang meragukan kalo manaku emang Hei.”
Yup,
tepat sekali. Sudah dari saat pertama kali bertemu Isya meragukan kalo nama
cowok itu ‘Hei’. Ia yakin Hei pasti punya nama asli meskipun namanya Jono,
Paijo, Bejo, bahkan Tejo.
“Nah,
kalo kamu udah tau aku nggak akan percaya, makanya kamu sebutkan nama kamu yang
sebenarnya. Aku jadi nggak enak manggil kamu dengan sebutan ‘Hei’ terus.”
“Terserah
kamu, deh mau percaya atau enggak. Lagipula menurutku nama itu nggak penting.”
Wah…
Hei ini bego atau gimana, sih? Kalo menurut Isya pribadi, nama itu jelas
penting banget. Meskipun nama itu terdengar kurang keren, tapi nama itu
merupakan anugerah dari orang tua kita yang wajib disyukuri. Lagipula, apa Hei
itu mau dipanggil ‘Nyet’ alias monyet kalo orang nggak tau nama aslinya?
Hei
menatap Isya dan tersenyum, “Masih nggak percaya juga? Namaku emang Hei… Heidy.”
***