Kamis, 10 April 2014

CERPEN BARU



HEI
By: Y-Poxz


          “Mbak! Bangun, Mbak!” sayup-sayup terdengar sebuah suara. Tubuh Isya pun terasa terguncang.
          Isya tersentak dan terbangun seketika. Samar-samar terlihat seorang laki-laki berkumis yang nggak lain adalah kondektur bus berdiri di sampingnya.
          “Udah sampai ya, Bang?” tanya Isya dengan mata setengah melek. Matanya masih terlalu berat untuk bisa melek full. Belum lagi kepalanya mendadak pusing.
          “Udah sampai mana?” si Abang Kondektur malah melontarkan pertanyaan balik.
          “Jalan Untung Suropati,” jawab Isya masih dengan setengah sadar.
“Wah, jalan Untung Suropati udah kelewat jauh. Ini udah hampir sampai terminal.”
Hah??? Mata Isya langsung terbuka lebar. Yang benar aja nih Abang kondektur. Masa ia kesasar sejauh ini?
“Kalian berdua mau ke mana? Kalian kabur dari rumah, ya?” tanya Abang Kondektur lagi.
“Kalian berdua?” Isya kurang mengerti dengan pertanyaan Abang Kondektur barusan. Apalagi pakai embel-embel kabur dari rumah segala.
Pertanyaan Isya terjawab saat ia menoleh ke samping. Ia baru sadar kalo masih ada penumpang lagi selain dirinya. Seorang cowok yang sedari tadi asyik dengan buku dan earphone yang menempel di telinganya. Isya pikir hanya dirinya satu-satunya penumpang yang masih tersisa.
“Kalian mau ke mana?” Abang Kondektur mengulangi pertanyaannya. Isya hanya bisa garuk-garuk kepala meskipun sebenarnya nggak gatal, ia bingung. Gara-gara ketiduran, ia jadi kesasar sejauh ini.
Tiba-tiba cowok di sampingnya menutup buku dan bangkit, “Kami turun di sini aja, Bang,” ucapnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Kemudian cowok itu menarik tangan Isya dan menuntunnya untuk turun dari bus.
“Hei, kamu ini apa-apaan, sih? Lepaskan tanganku,” Isya complain. Belum kenal tapi udah berani narik-narik tangan orang.
“Ops, sorry,” kata cowok itu seraya melepaskan tangannya dan tersenyum manis. Sepasang lesung pipi membuat cowok itu terlihat lebih charming.
Isya mengamati cowok di depannya dengan pandangan agak curiga.
“Tenang, aku bukan orang jahat kok,” cowok itu tersenyum lagi. Isya masih diam.
Kalo dilihat, cowok itu memang nggak kelihatan seperti penjahat. Tapi Isya masih belum percaya. Tampang, kan bisa menipu. Sekarang banyak penjahat yang mengandalkan wajahnya yang keren agar bisa melancarkan aksinya. Siapa tau cowok itu salah satunya.
“Yok, ikut aku.” cowok itu kembali menarik tangan Isya.
“Hei, tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?” Isya mulai takut. Padahal ia sudah berusaha positive thinking pada cowok itu.
“Karena udah kesasar, jadi sekalian aja kita jalan-jalan.”
“Tapi nggak perlu narik tangan segala, kan?”
“Hehehe… sorry,” cowok itu meringis.
“Kamu kesasar juga?”
“He-em,” jawab cowok itu singkat.
“Emang rumah kamu di mana?”
“Rumahku udah kelewat jauh.”
“Kenapa tadi nggak turun? Tadi kamu ketiduran juga?”
“Gimana mau turun kalo pundakku jadi sandaran kamu tidur. Aku lihat tadi kamu tidurnya pulas bangat. Jadi aku nggak tega mau bangunin.”
“Masa, sih?” Isya mencoba mengingat-ingat. Sayang, memori otaknya terlalu sulit untuk diajak kompromi.
“Kalo gitu sorry, ya. Eh, tapi tadi kamu nggak macam-macam, kan?”
Cowok itu hanya menjawab dengan seulas senyum yang membuat Isya semakin was-was. Sebenarnya cowok ini orang baik atau orang jahat?
“Hei, nama kamu siapa?” tanya Isya begitu berhasil menjajari langkah cowok itu.
“Bukannya barusan kamu manggil namaku?”
“Mana? Aku hanya manggil kamu ‘hei’.”
“Nah, itu namaku.”
Itulah awal perkenalan Isya dengan cowok yang mengaku bernama ‘Hei’. Cowok yang Isya rasa menyimpan banyak misteri.
Ternyata Hei nggak seperti yang Isya kira. Hei cowok baik, ramah, dan punya selera humor yang tinggi. Meskipun baru kenal, Isya merasa kalo ia sudah bisa akrab dengan Hei.
Sayangnya, pertemuan Isya dengan Hei hanya terjadi pada hari itu saja. Bodohnya, Isya lupa minta alamat atau nomer HP Hei. Mungkin Tuhan emang menakdirkan itu hanya pertemuan sekilas, bukan untuk menjalin hubungan persahabatan atau lebih.
Satu minggu sejak pertemuan itu. Isya menelusuri tempat-tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan Hei. Entah kenapa ia sangat ingin pergi ke tempat ini. Ia masih ingat jelas saat itu. Makan es krim di pinggir jalan berdua, jalan-jalan, nyari buku berdua, de-es-be.
Saat memasuki toko buku, tanpa sengaja mata Isya menangkap sesosok cowok yang ia rasa mirip dengan Hei. Tunggu, bukan mirip lagi. Cowok itu memang Hei.
“Hei!” Isya menepuk pundak cowok itu agak ragu.
Orang di depannya yang sedang asyik milih-milih buku menoleh, “Siapa, ya?” tanyanya.
Isya mematung nggak percaya. Hei sudah lupa padanya. Padahal baru seminggu yang lalu mereka bertemu dan menghabiskan waktu berdua.
“Kamu udah lupa sama aku? Aku Isya. Kita ketemu minggu lalu saat aku ketiduran di bus.”
“Isya siapa, ya?” cowok itu seperti berpikir keras.
Oh My God! Hei benar-benar lupa padanya. Aduuhh… malunya. Tau gini, mending tadi nggak usah nyamperi Hei aja.”
“Hahaha… jangan sedih gitu, dong… aku masih ingat kamu kok. Mana mungkin aku lupa sama cewek yang pernah tidur di pundakku?” Hei berbicara dengan volume yang nggak bisa dibilang pelan.
Andaikan masih sempat, Isya ingin sekali menutup mulut Hei. Bisa-bisanya buka kartu di tempat umum seperti ini. Cablak banget, sih mulutnya. Entah sekarang wajah Isya seperti apa saking malunya.
“Aku kira kamu beneran udah lupa sama aku,” ucap Isya begitu mereka keluar dari toko buku.
“Hehehe… maaf-maaf. Emmm… Sebagai permohonan maafku, gimana kalo aku traktir  es krim, sepuasnya, deh.”
Isya menarik sebelah bibirnya ke atas seraya berpikir.
“Udah, nggak usah kebanyakan mikir. Yok!” Hei (lagi-lagi) menarik tangan Isya tanpa izin. Heran, nih cowok hobi banget narik-narik tangan orang.
“Kalo sering-sering ditraktir es krim begini, aku nggak bakal nolak kok,” canda Isya.
“Huuu… maunya gratisan terus.”
“Itu namanya rejeki, tau. Rejeki nggak boleh ditolak.”
“Oh… Jadi cowok ini yang ternyata menjadi alasan kamu mutusin aku?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul.
“Dirga!” Isya reflek berdiri begitu tau siapa cowok itu.
“Heh! Dengar, ya. Isya itu pacarku. Jangan coba-coba merebut  dia dariku. Ngerti, kamu?!” Dirga mendorong tubuh Hei.
“Dirga! Apaan, sih? Jangan buat keributan di sini. Mending sekarang kamu pergi aja, deh. Aku udah muak melihat kamu.”
“Tapi, Sya…”
“Aku bilang pergi!!!”
Mendadak Dirga menjadi sangat marah. Tangannya mengepal kuat. Matanya menatap tajam ke arah Hei, “Ini pasti gara-gara kamu. Damn!” kata terakhir Dirga disambung dengan satu pukulan yang bersarang tepat di wajah Hei.
Hei terhuyung ke belakang. Salah satu sudut bibirnya berdarah akibat pukulan tadi. Hei sudah siap membalas, tapi Isya berhasil menyegahnya lebih dulu.
“Nggak ada gunanya kamu meladeni orang seperti dia,” ucap Isya. Kemudian Isya beralih ke Dirga.
“Ingat ya, Ga! Kita udah putus. Jadi kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku lagi. Lebih baik kamu urusi aja selingkuhan kamu itu.”
Isya menggandeng tangan Hei dan mengajaknya pergi, meninggalkan Dirga yang semakin marah. Orang-orang yang tadinya tertarik melihat kejadian itu pun satu per satu mulai membubarkan diri.
“Pacar kamu?” tanya Hei setelah mereka duduk di taman yang nggak jauh dari tempat mereka tadi.
“Dulu, tapi sekarang udah mantan. Kami udah putus dua minggu yang lalu. Ternyata selama ini diam-diam dia punya cewek lain selain aku. Aku paling benci cowok yang nggak jujur. Sorry, ya atas kejadian tadi. Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Hanya sobek sedikit,” jawab Hei seraya menggerak-gerakkan mulutnya yang masih kaku.
Beberapa saat kemudian mereka sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Eh, sebenarnya nama kamu siapa, sih?” Isya memecah kebisuan antara mereka. Lagipula ia juga masih penasaran dengan nama Hei yang sebenarnya.
“Udah aku bilang, namaku Hei.”
“Nggak mungkin. Aku yakin kamu punya nama.”
“Aku udah menduga kamu nggak akan percaya kalo namaku emang Hei. Berarti kamu orang yang ke-701 yang meragukan kalo manaku emang Hei.”
Yup, tepat sekali. Sudah dari saat pertama kali bertemu Isya meragukan kalo nama cowok itu ‘Hei’. Ia yakin Hei pasti punya nama asli meskipun namanya Jono, Paijo, Bejo, bahkan Tejo.
“Nah, kalo kamu udah tau aku nggak akan percaya, makanya kamu sebutkan nama kamu yang sebenarnya. Aku jadi nggak enak manggil kamu dengan sebutan ‘Hei’ terus.”
“Terserah kamu, deh mau percaya atau enggak. Lagipula menurutku nama itu nggak penting.”
Wah… Hei ini bego atau gimana, sih? Kalo menurut Isya pribadi, nama itu jelas penting banget. Meskipun nama itu terdengar kurang keren, tapi nama itu merupakan anugerah dari orang tua kita yang wajib disyukuri. Lagipula, apa Hei itu mau dipanggil ‘Nyet’ alias monyet kalo orang nggak tau nama aslinya?
Hei menatap Isya dan tersenyum, “Masih nggak percaya juga? Namaku emang Hei… Heidy.”
***






Selasa, 25 Maret 2014

Srikandi Dalam Dilema



Srikandi Dalam Dilema

”Ngelamun aja entar kesambet lo,” Rifky yang tiba tiba datang melemparkan sebuah novel di pangkuan Alza, Alza masih diam tidak menghiraukan.
“Wuiiihh! apaan tu? liat liat”. Rifky mengambil paksa kertas di depan Alza.
“Eh, jangan... kembaliin, nggak?Kembaliin!”
“Cukup aku tau kamu memujanya di belakangku, kamu membukakan pintu hati untuknya di belakangku, tapi apa daya aku tak berhak untuk cemburu  apa lagi marah dan membencimu, cukup sampai di sini. Biarlah Allah yang menegurmu jika itu bagian dari hilafmu. Ciieee”...
“Uda puas...?!! nggak sekalian aku ambilin mikrofon biar semua orang tau!!” Alza marah dan pergi meninggalkan Rifky.
Rifky dan Alza sudah besahabat dari mereka masih duduk di kelas X hingga sekarang saat kelas XII pun mereka beradadi kelas yang sama. Rifky selalu ada buat Alza, meskipun 99,99% dia lebih sering membuat Alza jengkel. Sifatnya yang jail slalu membuat Alza marah.Menurut Alza jailnya itu berlebihan atau kalau orang Jawa bilang“Kebablasen”.
“Za, maaf deh maaf, janji nggak diulangin lagi, beneran ... janji.... satu mangkuk chiken noodledi kantin deh buat nebus salahku. Mau ya, mau.... please“.
“Apanya yang nggak diulangin? Baru kemaren kamu janji nggak ngulangin lagi, baru kemaren juga aku dapet penebusan janjimu, dan baru kemaren juga ak....” Rifky cepet cepet menutup mulut Alza dan segera mengandeng tangan Alza lalu menyeretnya ke kantin.
“Jeelllleekkkk...!!! nggak buat kali ini enggak mau,” Alza mengembungan kedua pipinya, dan melilitkan kedua tanganya di perut.
“Yah, uda terlanjur aku pesenin. Please deh, kita kan temen, temen banget malahan. Ayolah maafkan kesalahan besar sahabatmu yang kece bin...”. Alza tidak menghiraukan ocehan Rifky. Alza masi memikirkan tentang suratnya yang ditulis buat seseorang tadi, Alza takut jika banyak orang yang sudah mendengarnya.
”Ya Allah neng Alza yang cantik jelita dan juga manja, maaf kalo udah obrak abrik prifasi kamu. Sekali sekali cerita dong, katanya udah iklas, udah ridho buat ngelepas dia, tapi kenapa di bawah kertas tadi masi tertulis Taa....”
“Stop, ini mienya enak cobain deh,” Alza menutup mulut Rifky dengan sesendok kuah mie yang sedang dinikmatinya.
***
            Sore itu suasana hati Alza tidak karuan, dia melihat jam yang tergantung di dinding kamar,  pukul 3 sore dan dipastikan lagi kalo hari ini adalah tanggal 19. Hari ini dia ada janji dengan Tama.
Tama adalah X-someone spesial di hati Alza. Sebenarnya belom menjadi X, mungkin karna hubungan mereka di ambang kehancuran atau kalo diperibahasakan seperti “telur di ujung tanduk”. Alza bingung antara datang atau tidak. Jika Alza datang, dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Tama dan buruknya jika sampai Alza membuat aliran sungai kecil di pipinya. Tapi jika dia tidak datang bagaimana bisa dia memperjelas semua problema yang ada di kisahnya beberapa bulan ini.
Setelah difikir matang-matang, Alza memutuskan untuk berani melangkahkan kakinya di taman. Di sana sudah telihat Tama yang duduk menghadap langit. Sore itu suasana memang sangat sepi, hanya terasa hembusan pepohon yang lembut  dan aroma bunga di sore hari.
            “Ehhemmm...”
            “Eh, Za!sudah datang, sudah dari tadi ya di belakang ku?”
            “Enggak kok baru aja”.
Suasana pun hening kembali, mereka hanya duduk sambil memikirkan sesuatu yang ada di fikiran masing-masing. Satu sama lain sebenarnya ada yang ingin diungkapkan tapi harus memulai pembicaraan dari mana, mereka tidak ada yang tau. Lalu kebisuan mereka dipecahkan oleh nada dering HP Tama yang berbunyi.
            Menatap indahnya senyuman di wajahmu membuatku terdiam dan terpaku....
 Tama  segera merogoh kantung saku celananya dan mencari HP. Tapi begitu HP ada di tanganya, tiba-tiba mati.
            “Masi itu nadanya?” Alza tersenyum kecil. Sebenarnya dia tidak perlu menanyakan hal itu, itu hal yang wajar jika nada HP Tama belum diganti, tapi dia tidak tau harus memulai pembicaraan dari mana hingga pertanyaan itu muncul.
            “Iya dong, ini kan lagu kita,” sejenak Tama berhenti dan menguatkan diri untuk mengenggam tangan alza dan melanjutkan pembiacaraan.
”Za, maaf ya aku uda buat banyak salah sama kamu. Terlalubanyak kesalahfahaman di antara kita,  seandainyapun kamu nggak bisa maafin aku, aku pantas menerima semua ini”
“Iya, nggak papa....”
            “Mugkin butuh banyak waktu untuk menjelaskan semua, perlahan kamu pasti akan mengerti.  Mungkin jika kita hanya berteman saja itu jauh lebih baik dari sekarang, iya kan?” Alza hanya terdiam, dia tidak mengira jika pertemuan ini akan berbuah seperti ini. Semua selesai. Hanya tinggal serpihan kaca yang sulit untukdisatukan lagi. Fikiran Alza melayang,tangannya berubah menjadi dingin, dadanya sesak hingga dia hanya menunduk saja. Untunglah  HP Alza segera memerkik dan dibukanya ada satu pesan.
            “ Lihat ke belakang, ikut aku jalan jalan” satu pesan dari Rifky yang ternyata dari tadi mengikuti di belakang Alza. Kemudian Alza memaksa wajahnya untuk tersenyum, meyadari Rifky yang ada di belakanganya.
            “Maaf, Tam aku harus pergi. Makasih ya buat hari ini,” Alza melemparkan sebuah senyum dan beranjak melangkahkan kakinya menjauhi Tama. Tama masi terpaku matanya mengikuti  setiap langkah kaki Alza, hingga tiba-tiba dia dikagetkan oleh sebuah tangan dari belakang.
            “Hai, Brooo, jari kelingking aku beri, uda buat hancur hati seorang srikandi. Dasar hati batu,” Rifky sangat kecewa melihat perlakuan Tama kepada sahabatnya. Rifky tau betapa cintanya Alza pada Tama.
“Eh, nggak usa ikut campur masalahku, salah kalo hatiku memang hati batu?  Aku memang cuma bisa nyakitin hati sahabatmu, ambil dia buat kamu, ambil bahagiakan dia,” muka Tama memerah, dia termakan emosi.
“Hahhhh!! nggak perlu perintah. Aku memang lebih bisa bahagiain Alza, lebih dari yang kamu bisa dan aku nggak akan pernah  ngasih dia teman di dalam hatiku, hanya dia,just Alza, ingat itu!” Rifky meninggalkan Tama. Dan berlali mengejar alza yang sudah lebih dulu melangkah pergi.
“Shiitttt.... RRRIIIFFFFKKYYYYYY!!!!”
***
            Alza duduk di bangku taman di tempat yang agak jauh dari kejadian tadi. Dia membuka tas dan mengeluarkan sebuah novel, lalu sebuah surat yang diselipkan di dalam novel jatuh. Matanya yang sudah tidak tahan menahan air yang ada di kantung matanyapun akhirnya pecah juga dan di ambil surat yang jatuh itu. “Heeyyyy, srikandy nggak boleh cengeng,” dari kejauhan terdengar suara Rifky yang memanggilnya Alza memasukan segera suratnya ke dalam tas.
“Eh, itu surat yang mau di kasihin Tama tapi nggak jadi yaa? udah deh ngak usah ditutupi aku uda tau kali”
“Enggak, apaan sie?”
“Tuh airmatanya diusap dulu, jelek tau masa seorang srikandi nangis, haha..”
“Ye, siapa yang nangis, tunggu tunggu, sejak kapan kamu manggil aku srikandi, ha?” Alza mengusap air mata yang ada di pipinya, sambil mencoba mengalihkan pembicaraanya.
“Ya mulai sekarang, masa iya kamu aku panggil Arjuna, haha... Iya mau dipanggil Arjuna?” Rifky terus berusaha menghibur Alza.
“Hah ! terserah deh, nggak logis alasanmu,so monoton”
“Biarin, yang penting itu air matanya uda nggak keluar lagi, dan sinar mataharinya uda sedikit terpancar, tuh tuh, haha..”
***
Keadaan di sekolah sangat gaduh dan semua orang telihat sibuk dengan tugasnya masing-masing karna besok ada lomba kebersihan kelas. Rifky sedang sibuk memasang hiasan-hiasan yang menempel di dinding bagian atas. Melihat postur tubuhnya yang tinggi tugas itu memang pantas untuk dibebankan pada dia. Saat sedang sibuk sibuknya melakukan tugasnya, matanya  memutari seisi ruangan, tidak dilihatnya batang hidung sahabatnya.
“Eh, Rif ! emang Alza uda putus sama Tama?” Rifky dikejutkan oleh pertanyaan Mili yang ternyata ada di bawahnya dari tadi.
“Ya ampun Mil, ngagetin aja, “ Rifky beranjak turun dari tangga lalu mendekat Milli.
Sorry sorry, emang bener ya sekarang Tama sama Rena? Mili melanjutkan pertanyaan lainya.
“ KEPO banget sie, Mil, mana aku tau tanya sendiri sama yang bersangkutan..”
“Yee dasar pelit, kamu kan sahabat Alza pasti tau, liat mereka berdua deket baget, liat deh”
I Don’t Care Mil..., ah nggak asekkk, liat Alza nggak?”
“Oh, Alza! tadi aku liat dia di depan perpus, gimana jawabannya?”
Whatever, aku mau cari Alza dulu,” Rifky meninggalkan Mili yang KEPO dengan hubungan sahabatnya. Rifky emang enggan menjelaskan pada  orang yang ingin tau tentang Alza, itu bukan urusan Rifky, dia hanya ingin membuat Alza bahagia, dan yang lain whatever.
“Sial, Alza”
Rifky melihat Alza menuju kelas, dia tidak mau jika Alza melihat Tama sedang berduaan mengobrol dengan Rena. Rifky tau hati Alza pasti sakit jika melihat itu. Entah apapun yang dibicarakan mereka tapi yang pasti Alza ngak boleh melihatnya. Rifky kemudian mencegah Alza dan mengajaknya pergi menjauh dari kelas..
“Ehhh, apa apaan sie? aku mau naruh novel ini di dalam kelas,” Alza yang menolak ajakan Rifky.
Emergenci, ikut aku deh, nggak boleh nolak”. Mereka berdua duduk di pinggir lapangan basket yang kebetulan memang sudah sedikit jauh dari ruang kelas.
Emergenciapanya, ini yang dinamakan emergensi? cuman duduk di sini, panas tau”
“Hehe bentar bentar, kamu mau aku ajarin renang nggak?
“Renang? Sejak kapan kamu bisa renang? bukanya kemaren waktu renang, kamu nggak bisa dan aku, aku yang harus ngerjain makalah kamu sampe segebok, terus sekarang mau nawari ngajari aku renang. Heh, jelek! mimpi apa semalam, apa jangan jangan obatnya abis, hh? Aku beliin deh”
“Yaelah aku cuman bilang satu kalimat situnya nyerocos kemana mana, Neng neng, tadi pagi sarapan pakek apa? Sarapanya pakek kaset ya sampe ngak berhenti berhenti nyanyinya, wkwk.” Rifkynggak mau kalah membuly Alza.
“Aku serius ini, apa aku kembali aja ke kelas ya?” Alza memulai langkahnya untuk pergi kembali ke kelas.
“Eh jangan-jangan!! aku punya sebuah kalimat buat kamu, khusus buat srikandi ku, hehe..”
“Apa?” Alza penasaran dan melototkan kedua matanya.
“Dengerin .... kamu... iya, kamu yang memaksaku untuk berenang, berenang mengarungi dalamya lautan cinta, tapi setelah aku menyelam ke dalamnya kamu tinggalkan aku sendiri dan kamu biarkan aku karam di dalamnya itulah kamu, kekasih batuku... hehe bagus nggak?”
“Iiidiiiihhh sok puitis”
“Heh,it is Realiti
“Ohh jadi nyindir?oke oke nggak papa, setengah jempol buat kariyamu kali ini, tapi dia nggak seperti itu, dia hanya  sedang kehilangan arah saja.”
“Yakin gitu?”
“Iya dong, seperti lagunya Jordan Hill .... if you lose your way, thing back on yesterday, remember me this way, remember me this way
Stop stop, fales banget, gendang telingaku sampek mau pecah, ya ya terserah deh” (andai kamu tau Za)
***
Satu minggu kemudian keadaan berubah, Alza merasa kehidupanya kembali seperti bulan bulan lagu. Badai kini berlalu sirna sudah bersama hadirnya Tama yang kembali dalam hidup Alza. Alza memutuskan untuk menelefon Rifky, sudah lama rasanya dia tidak mengobrol bersama sahabatnya yang satu ini...
“Tuutt...tuuttt..... halo assalamualaikum Rifky...”
Waalaikumsalam, yah siapa?” suara Rifky terlihat masi malas karna baru bangun tidur.
“Ih cuci muka dulu gih, ini Alza”
“Oh,  Alza! masi butuh orang?” matanya langsung melek mendengar yang telfon adalah Alza.
“Butuh lah... aku mau cerita ni, tapi cuci muka dulu gih”
Setelah beberapa saat kemudian”Iya uda, apa?”
            “Kayaknya aku mau baikan lagi nie sama Tama,menurutmu gimana? dia uda kembali seperti Tama beberapa bulan yang lalu, ini Tama aku banget Rifky,  aku takut nyesel kalo nolak balikan sama dia, aku harus ngasi jawabanya nanti, gimana?”
            “Huuuaaaaammmm, udahkan?”
            “Apanya yang udah, gimana pendapatmu, ngak conet sama sekali di mintain pendapat?”
            “Aku ngantuk banget, ini kan hari minggu biasanya aku juga masi molor kalo jam segini, huuaaammm...”
            “Nah itu uda bisa bicara banyak, ya uda deh selamat tidur, aku nanti mau ketemuan sama dia jam 3 di taman kemaren itu,,, bye Rifky, tut  tutt”
            “Iya,”
Alza andai kamu tau sebenarnya apa yang terjadi, aduh Rifky apa sie guna kamu di sini, kenapa nggak bisa mengatakan apa yang sudah kamu lihat, hah bodoh sekali kamu Rifky bodoh.
***
Alza datang lebih awal  jam 2.30 menit dia sudah sampai taman itu. Dari kejauhan dia melihat Tama yang sudah duduk di sana, Alza tersenyum melihat Tama yang sudah datang. Ternyata bukan hanya dia saja yang ingin segera bertemu, dan bisa mengobrol bersama tapi ternyata Tama juga.  Saat Alza sudah semakin dekat tiba-tiba di lihatnya Rena yang lebih dulu menghampiri Tama. Alza memutuskan untuk berhenti di tempatnya sekarang dan memperhatikan mereka dari kejauhan.
“Maa, Sayang agak lama ke toiletnya,” Rena  lalu duduk di samping Tama, lalu dia melihat jam tangan di tanganya.
“Sayang ini sudah setengah 3, aku pulang dulu, uda di tungguin mama”
            “iya hati hati di jalan, maaf nggak bisa nganterin”.  Merekaberdua pun cipika cipiki, seperti pasangan anak muda lainya yang sedang merajut kasih. Mereka tidak menyadari ada Alza yang sedang memperhatikan mereka.  Saat itu  sungai kecil di pipi Alza tak terbendung lagi bahkan salju abadi yang ada di puncak gunung Jaya Wijayapun ikut meleleh merasakan perasaan Alza saat itu. Tiba-tiba ada yang menarik Alza, siapa lagi kalo bukan Rifky.
“Sudah, ingat srikandi nggak boleh nangis” Rifky mengajak Alza duduk dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Tapi saat ini air mata Alza sulit untuk berhenti. Kemuadian Rifky menyadarkan kepala Alza di bahunya, berharap membuat Alza tenang.
      “Ky, betapa waktu 30  menit  itu sanggup mengubur cinta sedalam apapun. Andai aku tidak datang lebih awal aku tidak akan tau kenyataan yang sebenarnya. Ternyata selama ini dugaanku benar. Aku hanya bersembunyi di belakang waktu untuk menolak kenyatan ini”.
      “Heemm bukankah Allah mengirimkan yang salah terlebih dahulu sebelum yang sejati di datangkan?”
      “ALZA, aku fikir kamu hanya sebatas teman dengan Rifky, hingga aku mati-matian menghilangkan rasa cemburuku pada dia, tapi ini balasnya?” ucap Tama yang datang menghampiri Alza.
      “Bukankah ini yang kamu inginkan, kita hanya teman kan?” Alza beranjak berdiri sambil mengusap air matanya, berusaha terlihat tegar di hadapan Tama.
      “Teman? Lalu cinta kita?”
      “Cinta kita?Tidak, itu hanya cinta mu. Aku tidak pernah mencintaimu, Tama. Aku hanya berbohong selama ini, aku hanya melakukan sebuah drama, dan aku berhasil”
      “kamu bohong... kamu mencintaiku”
      “kamu puas tenggelam di dalam dramaku, Tama? kamu menikmatinya?”
      “ya kalian berhasil menjerat ku...  ALZA KAMU HA....SHIITTT semoga kalian bahagia” Tama pergi dengan membawa kesalhfahaman yang ada.
      Alza pun menangis sejadi jadinya. Dia melakukan hal yang sangat berlawanan arah dengan kata hatinya. Melakukan hal yang tidak pernah ada di fikiranya sebelumnya membuat kebohongan besar kepada orang yang sangat dicintainya.
“Kamu baik baik saja ?” Rifky yang hawatir dengan keadaan Alza.
“Ya! kamu tau, kadang saat kita melukai orang yang kita cinta, luka yang kita tanggung jauh lebih sakit dari orang itu ...”
“Tenang, masi ada aku yang aka mamulihkan lukamu “
“Haaa?!!
***



By   :Misian